Tokoh Utama cerita Mirah dari
Marunda
Bang Bodong : Seorang pendekar dari kampung Marunda yang pandai ilmu silat dan
Bang Bodong : Seorang pendekar dari kampung Marunda yang pandai ilmu silat dan
melindungi rakyat Marunda dari perampok.
Mirah : Putri Bang Bodong. Seorang putri yang berbudi
pekerti luhur.
Tirta : Seorang perampok, Tirta menyalahgunakan ilmunya untuk
Tirta : Seorang perampok, Tirta menyalahgunakan ilmunya untuk
berbuat tidak baik.
Asni : Saudara kembar Tirta yang bersifat baik hati.
Asni berasal dari Kemayoran.
Bek Serayan : Tamu undangan di pernikahan Mirah yang berasal dari Kemayoran.
Bek Serayan : Tamu undangan di pernikahan Mirah yang berasal dari Kemayoran.
Bek Serayan tewas saat bertarung dengan
Tirta.
Perwatakan tokoh utama Mirah dari
Marunda
Bang Bodong : Seorang pendekar berbudi luhur, suka menolong sesama dan berani
Bang Bodong : Seorang pendekar berbudi luhur, suka menolong sesama dan berani
membela kebenaran.
Mirah :
Seorang wanita yang tekun belajar dan taat pada orang
tuanya.
Tirta : Pendekar yang bersifat jahat yang menyalahgunakan ilmunya.
Asni : Saudara Tirta yang berbudi baik, membela kebenaran dan suka menolong
Tirta : Pendekar yang bersifat jahat yang menyalahgunakan ilmunya.
Asni : Saudara Tirta yang berbudi baik, membela kebenaran dan suka menolong
sesama.
“Tirta tewas
di tangan Mirah. Sebelum tewas, Tirta memberikan hadiah
pending emas kepada Asni dan Mirah sebagai hadiah pernikahan.”
Nilai luhur dalam cerita Mirah dari Marunda
1. Taat pada orang tua
2. Bersusaha mewujudkan cita-cita
3. Tekun belajar
4. cinta pada tanah air
5. berani membela kebenaran
6. suka menolong orang lain
pending emas kepada Asni dan Mirah sebagai hadiah pernikahan.”
Nilai luhur dalam cerita Mirah dari Marunda
1. Taat pada orang tua
2. Bersusaha mewujudkan cita-cita
3. Tekun belajar
4. cinta pada tanah air
5. berani membela kebenaran
6. suka menolong orang lain
Alkisah, di
jaman Belanda keadaan Marunda teramat kacaunya.Daerah pesisir Betawi ini sering
didatangi perampok baik dari laut maupun dari darat. Perampok datang merampas
harta benda, memperkosa perempuan, lalu pergi begitu saja setelah merasa puas.
Jika ada yang berani melawan dibunuhnya.
Selain itu, Marunda juga sering didatangi jagoan dari tempat lain. Jagoan ini menakut-nakuti penduduk, lalu memeras dan merampas hartanya. Pihak penjajah Belanda kurang memperhatikan keamanan Marunda. Bahkan kaki tangan Belanda ikut-ikutan memeras penduduk. Kaki tangan Belanda itu tuan-tuan tanah, demang, dan opas yang sering mendatangi penduduk untuk menarik pajak yang memberatkan rakyat.
Syahdan, tersebutlah Bang Bodong seorang jago yang tinggal di Marunda. Bang Bodong pemberani dan penolong rakyat. Ia tak pernah sombong, meskipun tidak sedikit lawan yang dibuatnya pecundang. Bang Bodong mempunyai seorang anak perempuan, Mirah namanya. Suatu hari Bodong merasa dirinya sudah tua, lalu dipanggilnya Mirah seraya berkata:
"Mirah anakku, aku makin tua, dan tak ada pula anak lelaki penggantiku, untuk menjaga keamanan kampung kita. Sedangkan rampok dan garong makin merajalela. Aku khawatir kalau kampungkita ini akhirnya musnah". Mendengar kata-kata ayahnya, Mirah termenung sejenak, lalu berkata: "Ayah tak perlu khawatir. Biar Mirah perempuan, Mirah sanggup menjaga Marunda, kampung tumpah darah Mirah. Ajarkanlah Mirah maen pukulan.
Tentu Mirah babat habis semua garong dan rampok yang mengganggu kampung kita".
Bodong terharu melihat niat tekadnya. Kuali ketemu kekep. Maka Mirah pun diajarnya maen pukulan. Bukan main cepatnya Mirah menyerap ilmu ayahnya, dalam waktu tak terlalu lama Mirah sudah dikenal sebagai perempuan jago maen pukulan dari Marunda. Apalagi Mirah berparas cantik, maka tidak sedikit pemuda yang ingin menjadi kawan hidupnya. Tapi dengan halus lamaran ditolaknya, walau batang usianya sudah cukup tinggi untuk menikah.
Pada suatu sore, Bang Bodong berkata kepada Mirah: "Mirah, kau cantik, aku bangga padamu. Tapi sayang engkau belum mau bersuami, padahal usiamu sudah cukup, Rah. Kalau nanti datang lamaran lagi, janganlah engkau tolak. Terimalah Mirah." Mirah menjawab dengan gesit : "Siapa yang akan mengurus ayah jika Mirah kawin. Mirah sayang Ayah". Bang Bodong merunduk terharu, lalu ia berkata lagi: "Janganlah kau pikirkan diriku, Mirah. Pikirkanlah dirimu. Nantiapa kata orang kampung. Aku khawatir kau dibilang perawan tidaklaku". Mirah tersenyum seraya menjawab : "Omongan orang kampung tidak terlalu Mirah pikirkan benar.Tapi kalau ayah mendesak, baiklah Mirah akan kawin. Tapi adasyaratnya." Bang Bodong girang dan berkata: "Apa syaratnya Mirah, katakanlah pada ayah, tentu ayah berusaha memenuhinya. Rumah? Perhiasan? Mirah menjawab : "Bukan, Yah, bukan itu syaratnya. Mirah hanya mau menikah dengan laki-laki yang sanggup mengalahkan Mirah. Kalau tidak ada yang dapat mengalahkan Mirah, biarlah Mirah tidak usah kawin saja.
Bang Bodong terhenyak mendengar jawaban anaknya. Akhirnya ia dapat menerirna persyaratan anaknya. Pada suatu malarn ia kumpulkan orang kampung dan mengumumkan niatnya menyelenggarakan semacam sayembara.
"Siapa
saja yang dapat mengalahkan Mirah, saya ikhlas mengangkatnya jadi
menantu", kata Bang Bodong. Berita tersiar bukan saja di Marunda tapi ke
seluruh kampung-kampung Betawi. Satu demi satu laki-laki mencoba kebolehan
Mirah maen pukulan. Tapi tak satu pun yang mampu mengalahkan Mirah.
Cerita Mirah
memilih calon suami dengan cara berkelahi itu didengar seorang jagoan Karawang
yang kerjanya merampok, Tirta namanya. Tirta menantang Mirah. Lagi-lagi Mirah
unggul. Tirta jatuh terkapar, ia tak berdaya menghadapi Mirah.
Syahdan, di kampung Kemayoran kekacauan yang disebabkan perampokan menjadi-jadi. Polisi Belanda kewalahan. Pemerintah Belanda makin risau, karena perampokan ini telah mengancamkepentingan orang Belanda sendiri.
Pada suatu malam terjadi perampokan di rumah seorang Cina Kemayoran. Ketika kepala polisi memerintahkan menangkap perampok-perampok yang tengah beraksi itu, perampok ternyata lebih gesit. Mereka melarikan diri sebelum polisi datang, tetapi ada penduduk yang berhasil mengenali wajah salah seorang perampok. Ia si Asni anak Kemayoran juga. Tapi penduduk merasa heran mengapa Asni merampok, bukankah selama ini ia dikenal berhati bersih, walau ia dikenal sebagai jago berkelahi.
Kepala
polisi menangkap Asni. Asni diperiksa. Karena kurangbukti, Asni dilepas kembali
dengan syarat bahwa ia sebagai jago kampung harus mampu menangkap perampok yang
sebenarnya.
Asni tersinggung bukan kepalang namanya dicemarkan oleh peristiwa perampokan di rumah Cina. Ia bertekad hendak mencari perampok yang sebenarnya. Ia memperkirakan perampok itu datang dari sebelah wetan. Maka berangkatlah Asni ke arah Timur. Kampung Marunda yang ditujunya. Asni memeriksa daerah hitam di Marunda. Tempat-tempat perjudian didatanginya. Ia bertanya kepada penjudi kalau-kalau mengetahui siapa perampok rumah Cina di Kemayoran.
Asni tersinggung bukan kepalang namanya dicemarkan oleh peristiwa perampokan di rumah Cina. Ia bertekad hendak mencari perampok yang sebenarnya. Ia memperkirakan perampok itu datang dari sebelah wetan. Maka berangkatlah Asni ke arah Timur. Kampung Marunda yang ditujunya. Asni memeriksa daerah hitam di Marunda. Tempat-tempat perjudian didatanginya. Ia bertanya kepada penjudi kalau-kalau mengetahui siapa perampok rumah Cina di Kemayoran.
Perbuatan Asni benar-benar menyinggung anak buah Bang Bodong. Mereka merasa Asni pendatang yang mengacak-acak kampungnya. Maka perkelahian antara Asni dengan anak buah Bang Bodongpun tak terhindarkan. Namun satu persatu anak buah Bang Bodong dibikin jatuh celentang oleh Asni. Akhirnya anak buah Bang Bodong mengadu kepada bapak buah.
"Bang ada orang ngendon datang ke kampung kita, kita nggak kuat ngelawannya, Bang'. Mendengar laporan anak buahnya yang sudah babak belur itu, Bang Bodong langsung naik darah seraya berkata : "Minggir lu pada, biar aku hajar orang endonan itu yang berani ganggu kampung kita".
Bang Bodong
berangkat mencari Asni. Ketika keduanya bertemu, maka perkelahian tak
terelakkan. Sayang, Bang Bodong yang sudah menua itu tak mampu mengalahkan
Asni. Bahkan bang Bodong pingsan. Anak buah Bang Bodong berlarian sipat kuping
melihat bapak buahnya terkapar. Mereka mencari Mirah untuk mengadukan musibah
yang menimpa Bang Bodong.
Mirah bukan alang kepalang marahnya mendengar ayahnya dipecundangi orang endonan: Mirah lari mencari Asni. Dan setelah bertemu ditantangnya si Asni itu. Asni menolak berkelahi dengan perempuan. Mirah memaksa mengajak berkelahi. Akhirnya Asni tak lagi menolak ajakan Mirah. Perkelahian pun terjadi habis-habisan. Namun Mirah tak kuasa mengalahkan Asni. Kali ini anak buah Bang Bodong tak berdiam diri. Mereka mengepung Asni. Dan Asni berhasil ditangkap. Kedua tangannya diikat. Dalam keadaan terikat Asni mampu menyembuhkan Bang Bodong yang pingsan dengan jampi-jampinya.
Bang Bodong siuman dan berkata : "Lepaskan anak ini. Ia memang jago tulen yang akan aku jadikan menantu. Sesuai dengan janji si Mirah yang akan memilih suami yang dapat menaklukkannya berkelahi".
Kepada Asni, Bodong berkata : "Hai anak muda yang gagah perkasa. Kau boleh ambil anakku Mirah sebagai isterimu". Mula-mula Asni menolak. Penolakan ini sebenarnya basa-basianak Betawi saja. Karena ia datang ke Marunda bukan untuk mencari isteri, tapi mencari rampok yang mengganggu orang Kemayoran.
Bang Bodong
yang arif, paham belaka apa yang tersimpan di hati Asni. Bodong kemudian
berujar : "Kalau yang ingin kau cari di sini perampok. Kami sudah tahu
orangnya. Rampok yang mengacau di sini dan di Kemayoran orangnya itu-itu juga.
Si Tirta namanya. 1a tinggal di Karawang. Mencari Tirta tidak susah. Yang
penting sekarang kamu kawin dulu sama si Mirah".
Pesta meriah pun digelar untuk merayakan perkawinan Asni dengan Mirah. Bek Kemayoran pun datang. Pengunjung melimpah ruah. Macam-macam tontotan silih berganti menghibur tamu. Tirta ternyata ada di tengah pengunjung pesta. Ia merasa yakin dirinya tak ada yang akan mengenali.
Pesta meriah pun digelar untuk merayakan perkawinan Asni dengan Mirah. Bek Kemayoran pun datang. Pengunjung melimpah ruah. Macam-macam tontotan silih berganti menghibur tamu. Tirta ternyata ada di tengah pengunjung pesta. Ia merasa yakin dirinya tak ada yang akan mengenali.
Tirta beradu pandang Bek Kemayoran. Bek Kemayoran mengenali Tirta yang wajahnya mirip Asni. Sebelum Bek bertindak, Tirta mendahului menusuk Bek dengan pisau belatinya Bang Bodong bangkit dari duduknya menubruk Tirta, Tirta mengelak. Lagi-lagi Bang Bodong yang gerakannya sudah lemah itu jatuh tersungkur terkena tusukan belati Tirta. Pesta jadi kacau balau. Mirah yang duduk di puade langsung melepaskan pakaian pengantin dan lari mengejar Tirta. Tirta berlari sambil mengacungkan belatinya yang bernoda darah. Bagaikan terbang Mirah meloncat dan kakinya memburu tengkuk Tirta. Tirta terjatuh, dan belati yang ada di genggamannya itu menusuk lambungnya sendiri.
Tirta roboh. Sebelum mati Tirta dengan terbata-bata berkata : "Mirah, aku kemari bukan untuk berkelahi, tapi untuk menyaksikan pesta perkawinanmu. Aku membawa sabuk berpending mas sebagai hadiah perkawinanmu. Dan lihatlah timangnya berukir diikat tali. Terimalah Mirah hadiah dariku ini".
Tirta
mengasungkan sabuk berpending mas kepada Mirah. Hati kemanusiaan Mirah
tersentuh. Mirah berteriak memanggil suaminya. Asni muncul, Tirta terkejut.
Seraya tangan kiri memegang pending mas, dan tangan kanan masih memegang belati
berlumur darah, Tirta berkata lirih : "Oh Tuhan, kalau aku tidak keliru
wahai Asni, engkau adalah adikku. Memang sudah lama kita berpisah. "Benar,
Bang, benar" Asni menjawab seraya mengusap airmatanya.
Asni dan Tirta satu Bapak lain Ibu. Ibu Asni berasal dari Cakung, sedangkan Ibu Tirta berasal dari Banten. Mereka pernah tinggal satu rumah, namun kemudian berpisah karena ayah mereka meninggal.
Maka
orang-orang yang hadir menjadi heran jadinya. Kakak beradik Asni dan Tirta
saling berpelukan. Dalam pelukan saudaranya, Tirta ternyata masih ingin
mencurahkan isi hatinya, ia pun berkata : "Wahai adik-adikku Asni dan
Mirah, maafkanlah Abang yang telah sesat ini. Mudah-mudahan kalian berbahagia
dalam hidupmu. Janganlah kau tiru jalan hidupku yang sesat ini". Setelah
berkata begitu Tirta mati di pelukan Asni.
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI
Jakarta, Cerita Rakyat Betawi, 2004Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta