Sunda Kelapa
Sunda Kelapa
sekitar pertengahan abad ke-20.
Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan
tempat sekitarnya di Jakarta, Indonesia. Pelabuhan ini terletak di
kelurahan Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Meskipun
sekarang Sunda Kelapa hanyalah nama salah satu pelabuhan di Jakarta, daerah ini
sangat penting karena desa di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal-bakal
kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527. Kala itu Kalapa, nama aslinya,
merupakan pelabuhan kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan (sekarang kota Bogor) yang direbut oleh pasukan Demak
dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai
jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan
oleh kerajaan Sriwijaya dari
Sumatera.
Sejarah
Pelabuhan
Kalapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan
terpenting Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjajah
Eropa, Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya
Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para
penakluk ini mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya. Namun pada
awal tahun 1970-an, nama kuno Kalapa kembali digunakan sebagai nama resmi
pelabuhan tua ini dalam bentuk "Sunda Kelapa".
Masa Hindu-Buddha
Menurut
penulis Portugis Tomé Pires, Kalapa
adalah pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara
dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran.[1] Sunda Kelapa yang dalam teks ini
disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh
dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda
modern: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari.
Pelabuhan
ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai
pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibukota di Pakuan
Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal
dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah
berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan
rempah-rempah yang
menjadi komoditas dagang saat itu.
Masa Islam dan awal kolonialisme Barat
Pada akhir
abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi
sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka
bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka
dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia
Timur.
Tome Pires, salah
seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara
Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda
Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari
Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut,
di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas,
sayuran serta buah-buahan.
Laporan
Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua
kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi
sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang
terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10
kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal
tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di
samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia
Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki
kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome
Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut
dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih
150 ton.[3]
Lalu pada
tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri
undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk
melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan
Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada
awalnya adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa
keturunan Arab.
Maka pada
tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang
menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan
yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima
barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang
Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu
peringatan atau padraõ dibuat
untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas
dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat
(Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan
Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah
provokasi dan suatu ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini. Maka
pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di
bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22
Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta.
Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya
diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya
artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau
usaha" dari bahasa Sanskerta, jayaká¹›ta
(Dewanagari
Masa kolonialisme Belanda
Kekuasaan
Demak di Jayakarta tidak berlangsung lama. Pada akhir abad ke-16, bangsa
Belanda mulai menjelajahi dunia dan mencari jalan ke timur. Mereka menugaskan
Cornelis de Houtman untuk berlayar ke daerah yang sekarang disebut Indonesia.
Eskspedisinya walaupun biayanya tinggi dianggap berhasil dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan. Dalam mencari
rempah-rempah di Asia Tenggara, mereka memerlukan basis pula. Maka dalam
perkembangan selanjutnya pada tanggal 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di
bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen yang sekaligus memusnahkannya. Di atas puing-puing Jayakarta didirikan
sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin menamai kota ini Nieuw Hoorn
(Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn di Belanda, tetapi akhirnya dipilih
nama Batavia. Nama ini adalah nama sebuah suku Keltik yang pernah tinggal di
wilayah negeri Belanda dewasa ini pada zaman Romawi.
Menurut
catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan
kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya
menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga
pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70
perahu layar dengan sistem susun sirih.
Abad ke-19
Sekitar
tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai
masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat
bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus
diangkut dengan perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang
mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya
Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak
tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus
pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Maka
dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke
timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu
dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik
empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Selain itu
pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan sekitar Menara Syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi tidak sehat. Dan segera
sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari
ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa
berpindah ke wilayah selatan.
Abad ke-20
Pada masa
pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942, Batavia diubah namanya menjadi
Jakarta. Setelah bala tentara Dai Nippon keluar pada tahun 1945, nama ini tetap
dipakai oleh Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa
Orde Baru, nama Sunda Kelapa dipakai kembali.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974, nama Sunda Kelapa dipakai lagi
secara resmi sebagai nama pelabuhan. Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar
Ikan karena di situ terdapat pasar ikan yang besar.
Sunda Kelapa dewasa ini
Sunda Kelapa
masa kini
Menara
pengawas Sunda Kelapa
Pada saat
ini Pelabuhan Sunda Kelapa direncanakan menjadi kawasan wisata karena nilai sejarahnya yang
tinggi. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa adalah salah satu pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelindo II yang tidak disertifikasi International Ship
and Port Security karena
sifat pelayanan jasanya hanya untuk kapal antar pulau.
Saat ini
pelabuhan Sunda Kelapa memiliki luas daratan 760 hektar serta luas perairan
kolam 16.470 hektar, terdiri atas dua pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru.
Pelabuhan utama memiliki panjang area 3.250 meter dan luas kolam lebih kurang
1.200 meter yang mampu menampung 70 perahu layar motor. Pelabuhan Kalibaru
panjangnya 750 meter lebih dengan luas daratan 343.399 meter persegi, luas
kolam 42.128,74 meter persegi, dan mampu menampung sekitar 65 kapal antar pulau
dan memiliki lapangan penumpukan barang seluas 31.131 meter persegi.
Dari segi
ekonomi, pelabuhan ini sangat strategis karena berdekatan dengan pusat-pusat
perdagangan di Jakarta seperti Glodok, Pasar Pagi, Mangga Dua, dan
lain-lainnya. Sebagai pelabuhan antar pulau Sunda Kelapa ramai dikunjungi
kapal-kapal berukuran 175 BRT. Barang-barang yang diangkut di pelabuhan ini
selain barang kelontong adalah sembako serta tekstil. Untuk pembangunan di luar
pulau Jawa, dari Sunda Kelapa juga diangkut bahan bangunan seperti besi beton
dan lain-lain. Pelabuhan ini juga merupakan tujuan pembongkaran bahan bangunan
dari luar Jawa seperti kayu gergajian, rotan, kaoliang, kopra, dan lain
sebagainya. Bongkar muat barang di pelabuhan ini masih menggunakan cara
tradisional. Di pelabuhan ini juga tersedia fasilitas gudang penimbunan, baik
gudang biasa maupun gudang api.
Dari segi
sejarah, pelabuhan ini pun merupakan salah satu tujuan wisata bagi DKI. Tidak
jauh dari pelabuhan ini terdapat Museum Bahari yang menampilkan dunia
kemaritiman Indonesia masa silam serta peninggalan sejarah kolonial Belanda
masa lalu.
Di sebelah
selatan pelabuhan ini terdapat pula Galangan Kapal VOC dan gedung-gedung VOC
yang telah direnovasi. Selain itu pelabuhan ini direncanakan akan menjalani reklamasi pantai untuk pembangunan terminal
multifungsi Ancol Timur sebesar 500 hektar.
Sunda Kelapa atau yang lebih dikenal
sebagai Pasar Ikan merupakan sebuah pelabuhan tua yang terletak di kelurahan
Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan bersejarah
ini merupakan cikal-bakal kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada
abad ke 16 atau tetapnya pada tanggal 12 Juli 1527. Pelabuhan yang sudah dikenal
sejak abad ke 12 ini dahulu merupakan pelabuhan penting kerajaan Sunda yang
beribukotakan Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor). Namun jauh sebelum
kerajaan Sunda berdiri, kerajaan Tarumanegara sudah terlebih dahulu berdiri.
Kerajaan ini kemudian diserang oleh kerajaan kuat Sriwijaya dari Sumatera, oleh
karena itu penduduk di sekitar pelabuhan ini menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa ibu mereka yang merupakan asal bahasa nasional Indonesia.
Karena posisi pelabuhan Sunda Kelapa
yang stategis sebagai pusat perdagangan di Asia. Kapal-kapal asing yang berasal
dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah merapat di pelabuhan ini
membawa barang komoditi seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian,
kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi
komoditas dagang saat itu. Maka banyak kerajaan nusantara dan bangsa Eropa
berusaha untuk menguasai pelabuhan ini, namun akhirnya Belanda lah yang
berhasil berkuasa. Sebenarnya pelabuhan ini sudah beberapa kali berganti nama,
namun pada 1970-an, nama kuno "Sunda Kelapa" kembali digunakan
sebagai nama resmi pelabuhan bersejarah ini.
Menurut catatan tinta sejarah,
pelabuhan Sunda Kelapa awalnya dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada
tahun 1817, pemerintah Belanda melebarkanya menjadi 1.825 meter. Saat ini
pelabuhan Sunda Kelapa memiliki luas daratan 760 hektar serta luas perairan
kolam 16.470 hektar.
Karena nilai sejarahnya yang sangat tinggi dan
dikelilingi oleh bangunan-bangunan bersejarah, saat ini pelabuhan Sunda Kelapa
dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata bahari dan sejarah di Jakarta.
Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa adalah salah satu pelabuhan yang dikelola oleh
PT Pelindo II dan hanya melayani kapal antar pulau saja.
GALERI
GAMBAR
Metrotvnews.com, Jakarta: Jangan
mengaku warga Jakarta kalau tidak mengetahui tempat yang satu ini. Ya Pelabuhan
Sunda Kelapa. Dalam sejarahnya, pelabuhan ini sangat dikenal sebagai pusat
perdagangan rempah-rempah terbesar di seluruh Asia. Para pedagang Nusantara
kerap singgah di pelabuhan ini, sambil membawa barang-barang seperti porselen,
kopi, sutra, kain, wangi-wangian untuk ditukar dengan lada dan rempah-rempah
lain.
Nama Pelabuhan Sunda Kelapa sudah terdengar sejak abad ke 12 Masehi. Sedangkan bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Sunda Kelapa, adalah Portugis di bawah pimpinan De Alvin. Setelah itu Inggris. Pedagang dari Arab, India, dan China serta kapal dari seluruh Nusantara kerap berlabuh di pelabuhan ini. Mereka mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia Barat.
Di abad ke-12 Masehi, Pelabuhan Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan yang strategis dari Kerajaan Hindu Sunda Jawa Barat. Selain untuk berdagang dan mengirimkan barang, mereka juga memiliki misi menyebarkan agama. Saudagar-saudagar itu berhasil menyembunyikan kekayaan negeri kepulauan ini selama 1.000 tahun, sebelum akhirnya bangsa Eropa datang.
Potensi strategis pelabuhan yang dipenuhi rempah-rempah, membuat Portugis tertarik untuk mendirikan kantor dagang. Namun upaya itu tidak disetujui Sultan Demak. Di tahun 1527 itu Sultan Demak langsung mengirim Sunan Gunung Jati atau lebih dikenal dengan Fatahillah untuk mengusir Portugis yang kala itu baru saja merapat ke pelabuhan.
Konon, kepopuleran Pelabuhan Sunda Kelapa diyakini sebagai asal muasal kota metropolitan Jakarta saat ini. Mulanya yakni pada tanggal 22 Huni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon dibawah pimpinan Fatahilah merebut kembali Sunda Kelapa. Tragedi 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta.
Kemenangan itu mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang dalam kamus Jawa Kuno artinya telah membuat kemenangan. Di abad 16 Portugis pergi, Belanda datang dengan tujuan sama, yaitu rempah rempah. Kala itu rempah-rempah bernilai sangat tinggi. bahkan lebih tinggi dari emas.
Tergiur dengan potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah, VOC mengingkari perjanjian dan mendirikan benteng di selatan pelabuhan dan memonopoli penjualan rempah-rempah di Nusantara. Pada masa penjajahan Belanda, area di sekitar pelabuhan, satu persatu dibangun dengan design yang dibuat mirip dengan kota Amsterdam.
Pelabuhan Sunda Kelapa kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang, terutama kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal Phinisi atau bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya.
Aktivitas pelayaran antar-pulau hingga hari ini masih berlangsung. Pelabuhan Sunda Kelapa masih menjadi pelabuhan yang penting di Jakarta, meskipun jejak masa kejayaan yang merupakan cikal bakal kota Jakarta, sudah tidak lagi tampak.(DSY)
Nama Pelabuhan Sunda Kelapa sudah terdengar sejak abad ke 12 Masehi. Sedangkan bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Sunda Kelapa, adalah Portugis di bawah pimpinan De Alvin. Setelah itu Inggris. Pedagang dari Arab, India, dan China serta kapal dari seluruh Nusantara kerap berlabuh di pelabuhan ini. Mereka mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia Barat.
Di abad ke-12 Masehi, Pelabuhan Sunda Kelapa dikenal sebagai pelabuhan yang strategis dari Kerajaan Hindu Sunda Jawa Barat. Selain untuk berdagang dan mengirimkan barang, mereka juga memiliki misi menyebarkan agama. Saudagar-saudagar itu berhasil menyembunyikan kekayaan negeri kepulauan ini selama 1.000 tahun, sebelum akhirnya bangsa Eropa datang.
Potensi strategis pelabuhan yang dipenuhi rempah-rempah, membuat Portugis tertarik untuk mendirikan kantor dagang. Namun upaya itu tidak disetujui Sultan Demak. Di tahun 1527 itu Sultan Demak langsung mengirim Sunan Gunung Jati atau lebih dikenal dengan Fatahillah untuk mengusir Portugis yang kala itu baru saja merapat ke pelabuhan.
Konon, kepopuleran Pelabuhan Sunda Kelapa diyakini sebagai asal muasal kota metropolitan Jakarta saat ini. Mulanya yakni pada tanggal 22 Huni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon dibawah pimpinan Fatahilah merebut kembali Sunda Kelapa. Tragedi 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta.
Kemenangan itu mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang dalam kamus Jawa Kuno artinya telah membuat kemenangan. Di abad 16 Portugis pergi, Belanda datang dengan tujuan sama, yaitu rempah rempah. Kala itu rempah-rempah bernilai sangat tinggi. bahkan lebih tinggi dari emas.
Tergiur dengan potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah, VOC mengingkari perjanjian dan mendirikan benteng di selatan pelabuhan dan memonopoli penjualan rempah-rempah di Nusantara. Pada masa penjajahan Belanda, area di sekitar pelabuhan, satu persatu dibangun dengan design yang dibuat mirip dengan kota Amsterdam.
Pelabuhan Sunda Kelapa kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang, terutama kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal Phinisi atau bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya.
Aktivitas pelayaran antar-pulau hingga hari ini masih berlangsung. Pelabuhan Sunda Kelapa masih menjadi pelabuhan yang penting di Jakarta, meskipun jejak masa kejayaan yang merupakan cikal bakal kota Jakarta, sudah tidak lagi tampak.(DSY)
Gedung Museum Bahari semula adalah gudang penyimpanan rempah-rempah. VOC membangun gedung ini secara bertahap sejak 1652 hingga 1759. Pada 1976 kompleks gedung ini diserahkan kepada pemerintah DKI Jakarta yang kemudian dipersiapkan sebagai sebuah museum. Museum Bahari diresmikan pemakaiannya pada 7 Juli 1977.
Museum Bahari bertugas melestarikan, memelihara, merawat, dan menyajikan koleksi-koleksi yang berhubungan dengan kehidupan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia. Jumlah koleksinya sekitar 1835 buah.
Secara tematik, tata pamer koleksi dan informasi terbagi ke dalam sejumlah pembagian ruang, yaitu:
1. Ruang Masyarakat Nelayan Indonesia
Koleksi yang dipamerkan: miniatur kapal dan peralatan kenelayanan.
2. Ruang Teknologi Menangkap Ikan
Koleksi yang dipamerkan: pancing, bubu, dan jaring.
3. Ruang Teknologi Pembuatan Kapal Tradisional
Koleksi yang dipamerkan: teknologi dan sentra pembuatan kapal.
4. Ruang Biota Laut
Koleksi yang dipamerkan: aneka jenis ikan, kerang, tumbuhan laut, dan dugong.
5. Ruang Pelabuhan Jakarta 1800-2000 (Pusat Perdagangan Dunia)
Koleksi yang dipamerkan: artefak-artefak yang berhubungan dengan kesejarahan pelabuhan di Jakarta pada rentang tersebut, termasuk meriam, keramik, dan benteng.
6. Ruang Navigasi
Koleksi yang dipamerkan: kompas, teleskop, dan sejumlah alat bantu navigasi.
7. Pelayaran Kapal Uap Indonesia-Eropa
Koleksi yang dipamerkan: foto-foto dokumentasi mengenai pelayaran kapal uap pertama dari Eropa ke Asia.
Museum Bahari memiliki beberapa akses dan fasilitas sebagai berikut:
Fasilitas Parkir
|
Terdapat fasilitas parkir untuk 10 mobil hanya di halaman
Menara Pengawas yang terletak sekitar 50 meter dari Museum Bahari. Di depan
Museum Bahari terdapat tempat parkir untuk 2 bis besar.
|
Anjing Penuntun
|
Anjing penuntun diperbolehkan masuk ke dalam area museum.
|
Kursi Roda
|
Karena tidak ada elevator untuk kursi roda, silakan
menghubungi kami di + 62 (0)21 6693406 jika Anda akan berkunjung ke museum.
|
Pembatasan Bawaan
|
Anda diminta untuk meninggalkan tas tangan seperti ransel,
payung, dan tas tangan yang lebih besar dari 30 x 35 cm di tempat penitipan
selama kunjungan. Museum berhak mengubah persyaratan-persyaratan ini tanpa
pemberitahuan lebih dahulu.
|
Pengambilan Gambar
|
Mengambil foto dengan lampu blitz dan perekaman video
diperbolehkan untuk keperluan pribadi saja. Tumpuan tripod tidak diizinkan.
Untuk perekaman profesional silakan hubungi kami.
|
Kamar Kecil
|
Terdapat kamar kecil di museum yang sesuai kebiasaan orang
Indonesia, dilengkapi dengan pancuran tangan.
|
Informasi
|
Jika ada pertanyaan lebih lanjut tentang akses dan
fasilitas dari Museum Bahari, silahkan menghubungi: + 62 ( 0)21 6693406 atau
kirim email ke: museum-bahari.blogspot.com
|